art by Joaquin Sorolla

Aku Hanya Seonggok Sampah, Sementara Kamu Bunga yang Merekah, Namun di Dekatmu Aku Tak Lagi Resah

Maple! šŸšŸŽƒ

--

Sampah. Sampah. Sampah. Tiap hari, hanya sumpah serapah yang kutelan dengan mentah. Sampah. Bedebah. Entah sudah kali keberapa tenggorokanku menelan dengan susah payah, hingga rasanya kering kerontang dan meradang.

Sampah. Sampah. Sampah. Hari ini, tak hanya sumpah serapah yang tumpah. Hari ini, seluruh sumpah serapah bercampur dengan ludah. Najis. Najis. Najis. Tanganku mencoba menengadah, merapal asa barangkali sedikit saja rasa kasihan itu terbit dan mengorbit. Percuma. Tak guna. Memangnya, jika sudah membusuk menjadi sampah, asa itu tetap ada? Tidak. Tidak ada. Itu adalah hal tabu bagi sampah busuk sepertiku.

Sampah. Sampah. Sampah. Ah, lagi-lagi mereka menatapku jijik. Bukan kali pertama, namun tetap saja, tatapan mereka selalu sukses membuatku bergidik, hingga mataku tak lagi sanggup menyelidik. Sampah. Pergi saja, sumpah. Berdengung nyaring di telingaku kata-kata itu. Sekali lagi, kuberanikan diri mencoba melempar pandang pada langit terbentang. Jika saja aku melangkah pergi, tempat mana yang harus kuarungi, jika seisi bumi menolakku lagi?

Sampah. Sampah. Sampah. Bodoh, mengapa pertanyaan sesederhana itu masih sempat terlintas di benakku? Aku tahu jawabannya, selalu tahu. Aku tahu, satu-satunya tempatku bernaung hanya tempat pembuangan akhir, titik di mana seluruh sampah sepertiku bermuara dari hulu ke hilir.

Sampah. Benar. Sampah. Kakiku lelah meniti langkah. Penat, isi kepalaku sudah memadat. Sekadar untuk bernapas saja aku tercekat. Langkahku mulai tersendat, pada akhirnya aku tersungkur lebih cepat.

Aneh. Aku tahu, aku hanya seonggok sampah, namun mengapa rasa sakit tak terasa menyelekit ketika tubuhku bertabrakan dengan tanah? Hangat. Kurasakan rengkuh erat, tanpa diikuti keluh dan terasa hangat. Sangat hangat. Mataku mengerjap dalam sekejap. Kupastikan berkali-kali bahwa ini bukan halusinasi dan aku tidak sedang berdelusi. Perlahan, kedua tanganku balas merengkuh, barangkali ini efek karena terlalu banyak peluh. Nyata. Apa yang kurasakan nyata, bukan fatamorgana.

ā€œKamu bukan sampah, kamu hanya butuh waktu untuk merekah.ā€ Untuk kali pertama, kedua telingaku tak menangkap sumpah serapah terkutuk. Sebaliknya, kalimat itu terdengar begitu halus, lebih halus daripada obat yang biasanya kugerus. Suaranya pun terdengar begitu lembut, seolah seluruh kotorku ikut serta ia pungut.

Untuk kali pertama setelah sekian lama, kedua irisku tak lagi teriris begitu bersibaku dengan tatapan orang terhadapku. Sebaliknya, sepasang iris itu menatapku penuh teduh, seolah tahu aku lelah dengan semua keruh.

Untuk kali pertama setelah sekian lama, aku terpana. Bunga indah itu berdiri di sisiku. Sungguh indah, hingga rasanya telah pergi semua gundah. Untuk kali pertama setelah sekian lama, akhirnya aku dapat bersimuka dengannya, setelah seluruh raga terbalut luka. Aku tahu, sampah busuk sepertiku memang tak pantas bersisian dengan bunga indah merona. Aku tahu, jika aku melakukannya, semerbak wanginya akan tergantikan oleh busuk tak karuan. Cukup bagiku hanya dengan bersibaku melalui tatap mata nan jauh. Hanya seperti itu saja, setidaknya lara yang kuderita tak lagi mengoyak dalam sejenak.

ā€œTidak perlu menatapku seperti itu, kamu tahu sendiri kita akan selalu bersisian,ā€ ucapnya sembari tatapannya dilayangkan pada gumpalan awan, ā€œdan aku juga akan selalu melihat ke arahmu, selayaknya kamu melihatku, sebab aku adalah bunga aster yang selalu dapat kamu temui di setiap langkahmu.ā€

Aku terenyuh. Tembok pertahananku runtuh dan pada akhirnya seluruh air mataku meluruh,Ā namunĀ iaĀ takĀ mengeluh. Untuk kali pertama setelah sekian lama, aku tak lagi merasa gelisah ketika emosiku tercurah. Untuk kali pertama setelah sekian lama, tangisku pecah, namun tak kudapati amarah. Untuk kali pertama setelah sekian lama, semua sumpah serapah yang tertumpah berganti menjadi bahagia membuncah.

Untuk kali pertama setelah sekian lama, batinku tak lagi tersumpal gundah dan lara. Mungkin benar, aku tak lebih dari seonggok sampah dan ia bunga yang tengah merekah, namun bersamanya resah berganti cerah. Mungkin benar, akuĀ sudahĀ takĀ lagiĀ berpendar, namun bersamanya aku merasa binar kembali berpijar.

--

--

Maple! šŸšŸŽƒ

Sekelumit peringatan. Konten penuh dengan luka, namun sayang, sukar diraba. Harap pertahankan akal sehat agar sukma nihil tergurat.