Benar. Kamu Akan Abadi, Sayang. Selalu, Selayaknya Aksaraku. Selalu.

Maple! šŸšŸŽƒ
4 min readMar 1, 2024

Hari itu, kuakhiri hari dengan menginjakkan kakikuĀ padaĀ sebuahĀ tokoĀ bukuĀ mungilĀ diĀ sudutĀ kota. Tak ada yang berbeda, hanya rutinitasku saja, begitu pikirku pada awalnya. Seperti biasa, kubiarkan atensiku menjelajah sudut sana dan sudut sini, menyapu bersih tiap buku yang kujumpai. Inginku mencari satu buku yang sudah lama kunanti. Inginku mencari satu buku yang sudah lama kudambakan, bahkan sejak aku masih mendamba menjadi seorang putri kerajaan di suatu negeri dongeng nan ajaib. Namun, nihil. Lagi-lagi, tak jua kutemui hingga frustrasi menghampiri.

Hari itu, untuk pertama kalinya, Pak Tuaā€Šā€”ā€Špemilik toko buku mungil ini, bertegur sapa denganku. Ah, selain saling bertukar kalimat transaksi, tentunya. Untuk pertama kalinya, aku menerka-nerka, berapakah usia Pak Tua ini dan sudah berapa lamakah waktu memakannya untuk mengabdikan diri pada toko buku ini? Dan untuk pertama kalinya, aku mengetahui bahwa namanya bukan Pak Tua, melainkan Pak Waktu. Ya, benar. Waktu. Nama yang cukup unik, bahkan bagi diriku sekalipun.

ā€œBelum menemukan buku yang kamu cari?ā€ Untuk pertama kalinya, ia melontarkan tanya. Untuk pertama kalinya, aku dapat melihat keriput kulitnya manakala segaris senyum terlukis di wajahnya. ā€œMemang buku apa yang kamu cari?ā€

Sejenak, sunyi menyelimuti. Tak ada orang selain kami di sini, semakin mewarnai ruang kecil ini dengan roma canggungnya. Namun, percayalah, aku bukannya sengaja mengulur waktu. Aku hanya sedikit terkejut ketika pertanyaan tersebut akhirnya terlontar juga, sebab selama ini aku pun selalu dihantui pertanyaan serupa.

Namun, satu hal yang akuĀ tahu. Yang selalu menggelitik tanyaku selama ini bukanlah buku apa, melainkan buku seperti apa.

Setelah terhanyut dalam sunyi selama beberapa menit, akhirnya aku membuka mulut, menjawab tanda tanya tersebut. Untuk pertama kalinya, aku menyuarakan keinginan yang telah kusimpan sepanjang napasku selama ini kepada orang lain. Kepada seseorang, selain orang ituā€Šā€”ā€Šorang yang selama ini terus menginap dalam pikiranku. Dan aku tahu akan selalu begitu, hingga seterusnya.

ā€œBukankah kamu sudah menemukannya? Bukankah kamu sadar jika yang kamu cari selama ini, sudah ada di dekatmu? Bahkan detik ini pun, kamu sedang memikirkannya.ā€

Mulutku yang awalnya hendak terbuka dan menyangkal kalimat itu mendadak kembali terkatup ketika kalimat terakhir diloloskannya. Kalimat itu terdengar final, tak dapat diganggu gugat, bahkan olehku sekalipun. Namun, percayalah, kalimat pendek itu sukses membuat pipiku memanas, karena aku tahu pasti Pak Tuaā€Šā€”ah, maksudku Pak Waktuā€Š, maafkan aku yang belum terbiasaā€”ā€Šsedang membicarakan apa yang baru saja terlintas di pikiranku.

Hari ini, dengan pena terganggam manis di jemariku, aku termenung sejenak sebelum menggoreskan tinta hitam pada secarik kertas di hadapanku, menghiasinya dengan abjad demi abjad, kata demi kata, hingga menyulamnya menjadi sekumpulan kalimat yang saling bertengger rapi satu sama lain.

Potongan percakapanku dengan Pak Waktu tempo hari kembali hinggap dan menyelimuti. Kala itu pula, layar ponselku menampilkan sebuah nama. Nama seseorang yang selalu hadir memenuhi isi kepalaku dan tak lekas pergi. Aku bahkan ragu jika nama itu berniat meninggalkan ruang mungil yang kubuat sedemikian rupa di sudut kepalaku.

Benar. Itu namamu, Sayang. Kuulangi, itu namamu! Kuulangi lagi, itu namamu yang memiliki ruang tersendiri dalam kepalaku, dalam hatiku, dan kamu bebas melakukan apa saja di dalam ruang kecil itu. Benar, apa saja, Sayang. Ah, jika saja aku dapat meneriakkan hal itu sekarang juga. Tunggu, tidak, tidak. Pasti kamu akan meledekku jika aku melakukannya, bukan?

Hari ini, sengaja kubiarkan pesan dan panggilan darimu. Tidak, tidak. Aku bukannya bermaksud jahat. Jangankan aku memiliki maksud jahat kepadamu, membayangkannya saja sudah mampu mencabik-cabikku, Sayang.

Aku hanya malu, namamu muncul tatkala aku hendak mengabadikannya bersama dengan pena dan kertasku, seolah-olah kamu tahu bahwa aku sedang memikirkanmu detik ini juga. Enggan. Aku enggan kamu mengetahuinya, Sayang, karenanya sekarang aku meringkuk dan mendekap lutut, bak anak kecil yang tertangkap basah setelah melakukan sebuah kenakalan.

Cepat-cepat kumatikan ponselku saat tak lagi bervibrasi dan namamu hilang dari sana. Aku takut. Aku takut kali ini aku akan tertangkap basah, lagi dan lagi.

Kuraih kembali pena yang tanpa sadar kubiarkan tergeletak di atas meja. Sejenak kurenungi kembali ucapan Pak Waktu tempo hari. Katanya, aku telah menemukan apa yang selama ini kucari. Katanya, aku telah mendapatkan apa yang selama ini kudambakan. Dan sesaat, aku tersadar. Hal itu benar adanya. Benar. Semuanya sudah aku dapatkan. Semuanya sudah aku dekap. Dan semuanya itu hidup dalam dirimu, Sayang. Terpancar dengan begitu hangatnya hingga aku ingin berlari dan menjatuhkan diri ke dalam dekapanmu.

Benar. Aku tidak perlu lagi menyusuri tiap-tiap rak buku di tiap-tiap toko buku hanya untuk mencarinya. Benar. Aku tidak perlu memuaskan keinginanku dari sesuatu yang abstrak sedari awal. Benar. Aku bisa menulis dan menciptakan buku dengan kisah terindah itu dengan tanganku sendiri. Dengan kehadiranmu. Dengan sosokmu.

Dan aku akan menjadikan kisah itu abadi, kekal, tak lenyap dimakan waktu. Aku akan menjadikanmu abadi, Sayang. Sekalipun seluruh insan di muka bumi ini mengolokku sebab hal itu terdengar mustahil. Sekalipun aku harus bertaruh dengan waktu. Sekalipun hanya ada kau dan aku melawan itu semua. Aku tetap akan menjadikanmu abadi, Sayang.

Benar. Kamu akan abadi, Sayang. Takkan kubiarkan sesiapa saja berani menorehkan noda di atas namamu yang tertulis dengan begitu eloknya di setiap lembar kertasku. Boleh saja jika kelak kertas-kertas itu menguning. Namun, kamu perlu ingat satu hal, Sayang. Kertas-kertas yang menguning itu adalah saksi. Saksi bahwa mereka telah hidup lama bersama kita. Saksi bahwa kisah kita akan terus melewati waktu demi waktu, masa demi masa. Saksi bahwa kamu abadi. Saksi bahwa aku abadi. Saksi bahwa kita akan abadi bersama, Sayang.

--

--

Maple! šŸšŸŽƒ

Sekelumit peringatan. Konten penuh dengan luka, namun sayang, sukar diraba. Harap pertahankan akal sehat agar sukma nihil tergurat.