Topeng Itu Hancur dan Kulihat Sukmamu Ikut Melebur

Maple! šŸšŸŽƒ
3 min readMay 1, 2024

Di ujung lorong nan gelap itu, selalu kulihat seseorang mengenakan topeng. Entah sejak kapan ia mulai mengenakannya, yang jelas, sejak pertama kali aku bertukar tatap, topeng itu telah melekat erat menutupi ekspresi orang itu.Ā SesiapaĀ sajaĀ yangĀ membacaĀ suratĀ ini,Ā kuharap kalian tidakĀ bertanyaĀ mengenaiĀ motifĀ orangĀ ituĀ mengenakanĀ topeng. Barangkali timbul tanya mengenai siapa sosok tersebut, kuharap urungkan kembali dan simpan baik-baik pertanyaan itu dalam benak masing-masing.

Batinku sama sekali tidak menaruh atensi barang setitik mengenai sosok itu. Sungguh, bahkan setelah bertahun-tahun, bahkan hingga satu windu, bahkan hingga satu dekade telah berlalu. Aku selalu melihatnya bertopeng, tak pernah sedetik pun kedua irisku menangkapnya melepas topeng yang selalu menemaninya.

Aneh! Ini aneh! Ada yang aneh! Ada yang aneh dengan topeng itu! Tidak seharusnya sebuah topeng mampu menunjukkan berbagai emosi, yang bahkan keseluruhan emosi itu selalu mengikuti lawan bicara dalam bayang-bayang sosok bertopeng itu. Topeng itu ikut melukis senyum tatkala sang lawan bicara berbagi cerita perihal baiknya dunia kepada mereka. Pun ketika sang lawan bicara tengah meluruhkan seluruh air mata dan membagikan beban di pundaknya, topeng itu tetap mempertahankan kurva di bibirnya dan memberi bahu, serta merapal mantra supaya seluruh duka dan lara sang lawan bicara tak lagi menyapa.

Aneh! Ini aneh dan sangat menggangguku! Entah sudah kali keberapa aku menatap nanar pada sosok yang mempertahankan esksistensinya di lorong gelap itu, yang selalu menggantungkan hidup pada topeng yang, mungkin, telah menjadi teman sehidup semati. Seluruh tindak-tanduknya membuat batinku terkoyak, entah karena apa. Entah mungkin karena aku muak dengan topeng itu, atau mungkin karena aku tak dapat mengulurkan tanganku, atau bahkan kedua hal itu menjadi alasan kuat bagiku untuk menyusun rencana menghempas pergi topeng itu.

Hari itu datang lagi. Hari ketika, lagi-lagi, ada saja sang lawan bicara yang membutuhkan bahu mungil itu, entah untuk sekedar menumpahkan tetes demi tetes air mata, entah untuk sekedar beristirahat sejenak dari bisingnya dunia.

Oh! Tidak, aku salah! Kali ini berbeda. Sang lawan bicara dengan rintih berbisik, ā€œAku ingin mati.ā€ Hening sejenak sebelum sosok bertopeng itu lagi-lagi melukis senyum yang amat kubenci. ā€œJangan. Ini belum saatnya, tetaplah hidup,ā€ ucap sosok bertopeng itu sembari mengusap lembut pucuk kepala sang lawan bicara, memberikan percikan kekuatan yang kulihat semakin meredup, sebelum akhirnya padam tak bersisa.

Aku termenung dibuatnya. Tidak, selama ini sosok bertopeng itu tidak memberikan kekuatan atau merapal mantra untuk mengusir pergi seluruh lara sang lawan bicara. Justru sebaliknya, ia mengirimkan seluruh lara itu masuk dan merasuki sukmanya. Hingga di titik ini, semuanya bercampur aduk menjadi satu, meluluhlantakkan pertahanannya hingga ia tak lagi mampu harus mengatur topengnya seperti apa.

Kini, kulihat ekspresi dan emosi yang ditampilkan pada topeng itu tak lagi menentu. Satu menit pertama, ia melontarkan tawa nyaring. Menit kedua, ia menampakkan sebuah senyum lebar, teramat lebar hingga rasanya kedua pipi itu akan terkoyak. Menit ketiga, jerit penuh kesakitan menguar memenuhi lorong gelap nan panjang ini, begitu nyaring dan memekakkan telinga, rasanya ikut membuat tenggorokanku tercekik.

Aku tahu. Aku tahu, menit ketiga itu adalah akumulasi seluruh emosi yang selama ini ditanggungnya. Topeng itu tak lagi mampu beroperasi sebagaimana mestinya, hingga pada akhirnya topeng itu secara otomatis mengaktifkan pengaturan awal. Ya, mengikuti emosi pengguna yang sesungguhnya, hingga sang pengguna tak lagi mampu menyembunyikan diri. Di menit keempat, kulihat topeng itu mulai retak. Perlahan-lahan, retakan itu semakin terlihat nyata. Di menit kelima, topeng itu sudah sepenuhnya hancur berkeping-keping, sama seperti emosi sosok di depanku saat ini.

Kini, aku mampu menyaksikan siapa gerangan sosok di balik topeng itu. Aku tidak begitu terkejut ketika mengetahui fakta bahwa ia adalah sosok yang kukenal. Bahkan, sosok yang sangat kukenal. Namun, karena aku tak memiliki emosi, aku tak mampu berempati. Aku hanya mampu menatapnya dalam hening, membiarkan isakannya mengisi kekosongan ruang dan waktu.

Di saat-saat terakhir kebersamaan kami kala itu, aku memberanikan diri untuk memberikan apa yang selama ini hanya ia dapatkan melalui bunga tidurnya. Sebuah dekapan hangat nan tulus. Dan di tengah isakannya, aku berbisik, ā€œKamu telah melakukan yang terbaik, sekarang saatnya kamu beristirahat.ā€

Tepat setelah aku membuka mulut, kulihat sosok itu telah ikut melebur bersama dengan topeng yang dikenakannya. Dan kini, hanya tersisa aku yang tengah mendekap erat tubuhku.

--

--

Maple! šŸšŸŽƒ

Sekelumit peringatan. Konten penuh dengan luka, namun sayang, sukar diraba. Harap pertahankan akal sehat agar sukma nihil tergurat.